Selasa, 29 Oktober 2013

Makhluk Kontroversial

Kata "makhluk" dalam kamus besar bahasa indonesia yang berarti sesuatu yang dijadikan atau yang diciptakan Tuhan. Bisa hewan, tumbuhan, dan manusia. Sedangkan kata "kontroversial" dalam kamus besar bahasa indonesia berarti sesuatu yang menimbulkan perdebatan. Maka makhluk kontroversial ini adalah ciptaan Tuhan yang menimbulkan perdebatan.

Dalam hal ini saya akan membahas  tentang orang-orang yang disebut sebagai makhluk kontroversial.
Jika dilihat-lihat, mari kita amati sejenak lingkungan dimana kita tinggal, atau mungkin kantor dimana kita bekerja, atau siapa saja yang pernah kita jumpai dalam hidup kita, pernahkah kalian menemukan sosok yang disebut makhluk kontroversial?  Adakah dari orang-orang yang kau jumpai termasuk dalam kategori makhluk kontroversial? Mengapa saya bertanya "adakah"..? Karena selama pengamatan saya, orang yang dapat disebut sebagai makhluk kontroversial itu jumlahnya sangat sedikit sekali. Mereka-mereka inilah yang biasanya mengundang banyak pertanyaan dan perlawanan dari masyarakat pada umumnya. Biasanya, mereka adalah tipe orang yang radikal dalam pemikiran. Tak malu-malu mengungkapkan apa yang dipikirkannya maupun yang dirasakannya. Ia menerobos batas-batas baik dogma maupun norma dalam masyarakat. Karena ia tak ingin terikat oleh apapun. Ia hidup sebagai pribadi yang bebas.

Ia juga dianggap pembangkang karena ia akan melawan apapun yang menurutnya tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Orang-orang seperti ini sangat langka. Biasanya mereka bagian dari orang-orang besar. Orang-orang yang dianggap gila oleh kebanyakan orang. Orang-orang yang dibenci tetapi juga dicintai. Orang-orang mempunyai cita-cita untuk mengubah dunia. Mereka selalu ingin memengaruhi siapapun. Perilaku mereka juga seenaknya. Tak mau dan tak dapat diatur. Mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap apa yang mereka harap dan yakini.

Pada dasarnya orang-orang ini adalah orang-orang yang terasing, yang merasa kesepian, yang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Mereka tak mau menuruti siapapun. Mereka murni menjadi dirinya sendiri.

Adakah seseorang di dalam hidupmu yang termasuk dalam kategori makhluk kontroversial? Ataukah jangan-jangan dirimu sendiri?

Perempuan

Barangkali, perempuan telah menyimpan dendam yang terlalu lama kepada lelaki.

Semenjak berabad-abad lalu, ketika Hawa dikambinghitamkan sebagai biang kerok terusirnya Adam dari surga akibat menuruti bujuk rayu Iblis untuk memakan buah yang sudah diwanti-wanti Tuhan agar mereka tidak memakannya.

Dahulu banyak bayi perempuan dikubur hidup-hidup. Kelahirannya dianggap sebagai aib dan tak dapat meneruskan garis keturunan dari laki-laki. Keberadaan mereka hanya dianggap sebagai pembantu para lelaki dalam mengurus bumi Tuhan ini. Hak-hak nya dibatasi. Tak diperbolehkan untuk memimpin, karena dianggap lemah. Hak waris pun demikian, mereka hanya mendapat setengah dari hak waris laki-laki. Bahkan tak ada perempuan yang diklaim sebagai nabi, seberapa suci dan benarpun. Dan Tuhanpun juga seringkali digambarkan dengan sosok laki-laki. Perempuan sekali lagi hanyalah manusia kelas dua, tak lebih unggul daripada laki-laki. Bahkan dianggap sederajatpun tidak.

Mereka seringkali dijadikan objek penindasan. Bahkan diremehkan. Dijunjung hanya untuk urusan syahwat.

Makhluk yang konon diciptakan dari tulang rusuk lelaki ini pun tak kunjung diam dan mengalah. Dendam yang telah tersimpan berjuta-juta tahun pun telah mengkristal menjadi suatu energi besar. Energi yang siap mereka gunakan untuk membalas perih yang mereka alami.

Lihatlah ketika Cleopatra membuat raja romawi jenius bernama Julius Caesar bertekuk lutut, Romeo yang rela meneguk racun demi cintanya kepada Juliet, Majnun yang gila karena mencintai Layla, serta Ken Arok yang tega membunuh suami Kendedes karena terpikat oleh kecantikannya. Manusia yang dianggap lemah dan tak berdaya telah menaklukan para tokoh besar.

Mereka semacam sedang membuktikan kepada dunia, bahwa perempuan bukanlah manusia kelas dua. Dan pantas disederajatkan dengan laki-laki. Atau bahkan lebih tinggi. Ataukah barangkali Tuhan juga baru menyadari betapa pedihnya hidup perempuan lalu Ia memberi mereka kekuatan untuk memberikan pelajaran kepada laki-laki atas apa yang diperbuatnya sejak berabad-abad silam.

Kamis, 24 Oktober 2013

Luka,Amarah,dan Ketakberdayaan

Seorang yang terbiasa ditindas dapat menjadi penjahat paling berbahaya. Maka perlu hati-hati ketika menjalin hubungan sesama manusia. Seseorang yang diam tak melawan bukan berarti ia sudah kalah. Barangkali ia menyimpan dendam. Mengumpulkannya sedikit demi sedikit. Kelak jika dendam itu terkumpul, ia akan menjadi kekuatan yang besar dan tak terkendali. Seperti kekuatan dajjal yang terpenjara ribuan tahun.

Semakin tahun, rantai besi di tangan sang tertindas akan semakin rapuh. Berbanding terbalik dengan dendam yang disimpannya. Kekuatannya justru menggumpal. Dan kelak akan menjadi senjata penghancur paling hebat.
Ia berharap, kelak ia dapat melakukan penindasan yang serupa terhadap orang lain. Agar ada yang mengerti betapa perih yang ia alami. Begitulah cara berpikir dajjal. Baginya darah harus dibayar darah, malu harus dibayar malu, rasa sakit harus dibayar rasa sakit. Adil. Seperti Tuhan yang Maha Adil.

Berbeda dengan seorang penindas, yaitu seorang yang berpikir yang kuat yang patut melakukan apa saja. Bahkan untuk menindas yang lain. Menyakiti sesama manusia. Sesama ciptaan Tuhan. Ia sangat percaya bahwa Tuhan selalu memiliki alasan mengunggulkan suatu kaum dari kaum yang lain. Seperti yang ia baca pada kitab suci. Maka ia hanya mengikuti apa yang telah menjadi petunjuk. Sambil mengharap, kelak setelah ia mati Tuhan akan memasukannya kedalam surga yang isinya para bidadari. Wanita-wanita bertubuh mulus yang siap untuk disetubuhinya kapanpun. Lalu nanti ia akan bertemu dengan teman-temannya, para penindas pula, yang akan meramaikan surga dengan pesta seks. Betapa bahagianya. Betapa baiknya Tuhan, katanya.

Disisi lain, seorang gelandangan kumuh kebingungan melihat para penindas dan tertindas berkumpul di di neraka. Mereka sama sekali tak bermusuhan. Bahkan sangat akrab. Gelandangan itu berpikir ada apa gerangan mereka malah saling bercengkrama di dalam neraka. Mengapa sang penindas tak berada di surga sesuai dengan apa yang telah diyakininya saat berada di bumi? Lalu mengapa sang tertindas juga mendekam di neraka?

Bukannya Tuhan pernah berjanji bahwa siapa yang menaatinya akan dimasukanNya ke dalam surga? Bukannya Tuhan juga pernah berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang tertindas?

Lalu gelandangan kumuh itu menangis tersedu-sedu. Ia bukan menangisi para penindas dan tertindas. Tapi ia menangisi dirinya sendiri. Meskipun hidupnya selama di bumi ia habiskan untuk menolong sesama dan menitikkan air mata hingga darah demi orang lain, namun kali ini ia ingin menolong dirinya sendiri. Ia melihat tidak ada siapa-siapa disana kecuali dirinya sendiri. Ia sadar, betapa sombongnya ia telah merasa mengenal Tuhannya. Betapa ia telah berprasangka buruk kepada Tuhan atas segala firman-firmanNya. Betapa sangat tiada berdaya nya akal untuk menjangkau pemahaman tentang Tuhan.

Gelandangan itu melepas pakaiannya. Ia bertelanjang bulat sambil bersimpuh. Lalu bersujud dan menangis. Mengakui segala kesalahannya kepada Tuhan. Tiba-tiba, sesosok makhluk berwujud rupawan dan bersayap muncul di depannya. Makhluk itu menyerahkan dua kunci kepada gelandangan itu. Pada kunci itu masing-masing bertuliskan surga dan neraka. Kemudian makhluk bersayap itu seolah memberikan isyarat kepadanya untuk membuka salah satu pintu dengan kunci tersebut.

Gelandangan itu malah menyerahkan kembali kunci tersebut. Lalu secercah cahaya tiba-tiba memancar dari kedua sosok berbeda itu.
Dan keduanya hilang. Entah kemana.

Kamis, 17 Oktober 2013

Privatisasi Agama

Melihat tulisan "Agama" hampir di setiap pengisian kelengkapan identitas itu menggelitik benak saya. Ketika saya harus mengisinya ada semacam keengganan untuk menuliskannya. Bukan karena saya tidak beragama. Atau apalah agama saya. Dan jika pun benar saya tak beragama, apa pentingnya bagi orang lain untuk mengetahuinya.

Apakah jika saya tak beragama maka saya tak layak hidup? Apakah jika saya tak beragama maka saya tak boleh tinggal di negara ini? Apakah jika saya tak beragama maka saya tak pantas dianggap manusia yang memiliki hak-hak nya seperti manusia yang lain?
Satu alasan yang menurut saya paling masuk akal untuk menuliskan agama pada identitas adalah agar kita dapat saling mengenal dan mengucapkan selamat hari raya. Selain itu tidak ada lagi. Mungkin karena tidak dapat saya temukan.

Bagi saya, bukan merupakan kesopanan ketika seseorang menanyakan apa agama seseorang yang lain. Karena agama adalah privasi setiap orang. Bukan sesuatu yang harus dibicarakan atau diperlihatkan di depan umum. Beragama atau tidak adalah hak setiap orang. Pancasila sila pertamapun hanya menyebutkan ketuhanan yang maha esa. Tidak ada kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk memeluk suatu agama.

Seperti halnya ketika ada seorang laki-laki yang memiliki istri simpanan,tentu saja itu adalah privasi bagi laki-laki tersebut. Ketika saya menanyakan apakah ia memiliki istri simpanan, maka hak mutlak nya untuk menjawab ataupun tidak. Atau ketika seseorang menanyakan berapa harga baju,celana,dan sepatu saya, maka saya berhak untuk menjawabnya ataupun tidak. Atau ketika orang lain menanyakan berapa gaji yang anda terima setiap bulan, maka itu adalah hak mutlak anda juga. Anda boleh menjawabnya, tapi anda juga memiliki hak penuh untuk merahasiakannya. Karena tidak ada yang berhak tau dan mengatur bagaimana seseorang harus menjalani hidupnya. Kecuali orang tersebut memberinya ijin.

Kalau banyak dari hal-hal yang dalam hubungan dengan orang lain saja diperbolehkan untuk "menutupinya", apalagi jika tentang hubungan seseorang dengan Tuhannya.
Saya lalu berpikir,mengapa setiap orang harus merasa perlu memberitahu orang lain tentang apa agamanya, bagaimana hubungannya dengan Tuhan, atau bahkan percaya tidakkah ia tentang adanya Tuhan?

Siapa yang dapat menilai kadar beragama seseorang? Apakah Tuhan beragama? Jika iya, apa agamaNya dan untuk apa Tuhan beragama? Jika tidak,mengapa ia turunkan agama di muka bumi melalui rasulNya?
Beragama ataupun tidak, bertuhan ataupun atheis, bagi saya adalah hak yang setiap orang boleh merahasiakannya. Agama seseorang bukanlah hal yang harus dipublikasikan. Karena agama adalah kaitannya dengan Tuhan. Sedang Tuhan yang kita anggap Tuhan adalah belum tentu Tuhan.

Selasa, 15 Oktober 2013

Para Prajurit Tuhan

Peristiwa penyembelihan Ismail adalah tentang kepatuhan,keberserahan,dan keyakinan.

Bagaimana perasaan seorang ayah ketika mendapat perintah langsung dari Tuhan untuk menyembelih anaknya sendiri? Anak yang sudah ditunggu kelahirannya di umur sang ayah yang sudah mendekati renta. Anak yang sangat dicintainya.

Pastilah hancur dan remuk redam hati sang ayah. Menangis. Namun tangisan dan rasa sakitnya tak membuatnya takut dan ragu. Apalagi melakukan pembangkangan kepada Tuhan.

Ibrahim pun tak mencoba untuk meminta, atau tawar menawar , bahkan merayu Tuhan untuk membatalkan perintah tersebut. Atau mungkin agar Tuhan mau berbaik hati untuk memberikan keringanan kepadanya dengan perintah lain selain menyembelihnya. Ibrahim juga tak mempertanyakan , mendebat, apalagi menimbang-nimbang. Ia hancur dan perih. Namun ia penuh keyakinan dan keberserahan. Tak ada sedikitpun ketakutan dan keraguan.

Kemudian sang ayah memberitahukan kabar berita itu kepada
Ismail. Keyakinan sang ayah lah yang membuat
Ismail tabah dan dengan penuh keyakinan mempersilakan ayahnya untuk melaksanakan perintah dari Tuhan yang telah disampaikan kepadanya. 

Pada Ismailpun, tak sedikitpun timbul ketakutan. Ia bahkan tak mempertanyakannya dan tidak pula meminta pengunduran waktu pelaksanaan perintah tersebut. Ia bak prajurit yang mendapat perintah dari atasannya kemudian melaksanakannya dengan sepenuh hati.

Si prajurit tak memerlukan alasan apapun atas perintah yang ia kerjakan. Ia hanya melaksanakan,melaksanakan,dan melaksanakan. Tak ada secuilpun kepengecutan dalam diri ismail untuk memohon atau meminta penangguhan waktu dalam melaksanakan perintah tersebut. Ia serahkan sepenuhnya jiwa dan raganya kepada sang atasan.

Begitulah sikap ismail yang tak jauh-jauh dari ibrahim. Tak ada perintah yang ditimbang-timbang. Tugas adalah untuk diselesaikan. Bukan dipertimbangkan.
Ibrahim dan Ismail telah menjadi prajurit-prajurit Tuhan yang menyelesaikan misi dengan sempurna.

Kekonyolan Manusia

Kekonyolan Manusia :
Tak Menyadari Kapasitas Diri.Tentunya setiap manusia memiliki harapan atau cita-cita. Karena dari harapanlah manusia dapat tumbuh dan berdiri tegak. Sebab jika tanpa harapan dan cita-cita maka hidup manusia akan hampa dan tak tentu arah. Namun harapan jugalah yang meluluh lantakkan jiwa pemiliknya. Terutama ketika sang pemilik cita-cita menetapkan tujuan hidupnya berdasarkan pada standar cita-cita orang lain. Maka tujuan hidup menjadi semacam obsesi semata. Mungkin melihat orang-orang sukses yang dikaguminya. Sehingga lantas ditirunya apa saja yang dilakukan orang tersebut. Lalu kita menetapkan standar kesuksesan dan tujuan berdasar orang itu pula. Bukan masalah sebetulnya. Namun ketika kita tak mengerti seberapa kapasitas diri kita, sudah barang tentu harapan akan menjadi obsesi semata. Kandas di waktu yang tak lama. Ibarat motor ber cc 100 yang memaksakan lari dengan kecepatan 200km/jam seperti motor yang dikendarai Valentino Rossi. Lalu apa yang akan terjadi pada motor tersebut? Ambrol.

Maka menyesuaikan cita-cita dengan kapasitas diri sangatlah penting disamping doa dan usaha yang lebih penting.

Tak
Mengerti Yang Diinginkan.
Banyak orang yang tak benar-benar mengerti apa yang ia ingini. Serta banyak keinginan yang sebenarnya bukan keinginan yang benar-benar ia ingini. Keinginan, mimpi, cita-cita,dan harapanlah yang membuat setiap orang memutuskan untuk melanjutkan hidup. Keinginan akan apa yang hendak dicapai,dialami,dan dirasakan pada masa depan masing-masing orang adalah semacam bahan bakar untuk melanjutkan hidup. Namun, tak semua orang benar-benar mengerti apa yang sebenarnya ia ingini. Itulah yang menjadi soal. Karena seringkali setelah keinginan terwujud , manusia selalu mengejar keinginan yang lain.
Kenginan demi keinginan ia kejar hingga mengorbankan segalanya tanpa meraih apa yang sebenarnya ia inginkan.
Lantas apa yang ia dapat? Lelah. Maka dari itu, hendaknya sebelum melangkah, menjadi sangat penting adalah bertanya kepada diri sendiri apa yang sebenarnya kita inginkan. Agar dalam melangkah kita menjadi mantap dan penuh keyakinan. Dan dihindarkan dari keombang-ambingan dan putus asa yang siap menyerang siapa saja disaat rintangan mengganjal langkah kita.

Menjadikan
Tuhan Pelarian Semata.
Dalam mengejar cita-cita, selain usaha, doa mengambil peran yang lebih penting. Setiap manusia berdoa dan meminta kepada yang mereka anggap memiliki kuasa penuh dan pemilik hak tunggal atas kesuksesan setiap manusia. Karenanya doa menjadi semacam mantra ajaib yang menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Terlebih ketika manusia mengalami masa-masa pahit, duka, dan kegagalan. Maka Tuhan lah yang menjadi satu-satunya tempat berlabuh. Dan meminta tentunya. Namun setelah keinginan diraih,masa-masa penuh sukacita, dan hati terpuaskan seringkali manusia memperlakukan Tuhan seperti seorang suami yang malam-malam membangunkan istrinya, merayu atau meminta untuk melayaninya,kemudian disaat hasrat si suami terpuaskan ia tidur membelakangi istrinya. Baik kah tingkah si suami? Habis manis sepah dibuang. Tuhan memang tak membutuhkan itu, namun menjadikanNya pelarian bukanlah sikap mengabdi yang baik.



Jumat, 11 Oktober 2013

Realitas

Jiwa yang terhentak.
Ada apakah gerangan?
Aku-ku bukanlah aku-mu
Kita tak bersatu
Jiwa yang dihantui ketakutan
Dan ketidakberdayaan
Melawan? Mana mungkin !
Jiwa yang menyombong
Lalu kalut
Diruntuhkan oleh kemaha besaran
Hancur sudah pasti
Menyesal apa lagi
Berteriak tak mampu
Berdoapun malu
Jiwa yang tertawan
Segeralah menyadari ketidak punyaan
Berserah itu satu-satu nya jalan
Adakah lagi harapan
Dan beban
Yang memenuhi ruang dada
Setelah realita datang
Dan memporandakan impian
Namun menghapus beban
Hari ini,cukuplah kau mengerti dahulu
Bahwa kau rapuh
Bahwa kau tak selamanya
Bahwa kau tak tau apa-apa
Kau tak dapat memutar waktu untuk kembali
Kau tak dapat mengendalikan segala kejadian untuk mengikuti yang kau ingini
Kau tak tau apa yang akan terjadi esok hari
AKUilah,kau kalah.

Kamis, 03 Oktober 2013

Menulis itu...

Bagi saya, ketika pertama kali menulis, adalah tentang bagaimana mengenali diri sendiri. Dengan menulis maka saya sedang berusaha berkenalan dengan diri sendiri. Ibarat diri itu adalah calon pacar, maka dengan menulis itu saya berarti menyalami, lalu menyelami, dengan tujuan tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memahami diri sendiri.

Memulai sebuah kata mungkin tidak terlalu sulit bagi saya, namun merangkainya menjadi sebuah kalimat adalah sebuah langkah awal yang sangat membutuhkan keberanian bagi saya untuk menuangkannya agar menjadi sebuah tulisan yang benar-benar adalah hasil perkenalan saya dengan diri saya sendiri. Meskipun tidak karuan pasti, nantinya tulisan yang akan saya muat di blog ini adalah tentang diri ini. Hahaha.. Sebegitu narsisnya saya!!

Menulis bukan perkara yang sulit. Yang sulit dari menulis adalah menulis dengan karakter kita sendiri. Karena dibutuhkan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Bukan hanya tentang teknik dan rangkaian kata-nya. Namun ada sisi-sisi dari dalam batin yang perlu kita kuak agar kita menjadi tau seberapa dalam penghayatan kita terhadap apa-apa yang telah memenuhi ruang batin kita. Entah itu masalah ketuhanan, hubungan terhadap keluarga, sosial, tragedi yang menimpa kita, suka cita dalam pekerjaan, cinta lawan jenis, bahkan mungkin tentang seksualitas.

Bagi saya tidak ada hal yang tabu untuk dituangkan dalam sebuah tulisan. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. Untuk apa kita menutup-nutupi diri dari kita sendiri dan orang lain (dalam hal ini adalah pembaca) ? Jika terhadap diri sendiri saja kita tak mampu berbuat jujur, bagaimana kita dapat memiliki kepercayaan diri untuk berjumpa dengan orang lain dan terutama diri kita sendiri? Karena yang paling sering kita jumpai di dalam hidup bukanlah orangtua,istri,anak apalagi tetangga, tapi diri kita sendiri.

Maka ibarat kita sedang masa-masa pedekate terhadap calon pacar, seyogyanya kita jujur dan terbuka.Bagaimana hubungan kita akan baik nantinya jika dalam berkenalan kita tak bersikap apa adanya?

Tidak penting baik atau buruk tulisan kita. Tidak penting benar atau salah pandangan kita. Karena inilah diri kita.
Dalam hubungan pedekate dengan calon pasangan kita pun, sangat tidak mungkin jika selama proses perkenalan itu kita tak mengalami kesalahan. Mungkin pertentangan demi pertentangan, pertikaian demi pertikaianpun akan tak terelakkan. Untuk itulah kita saling menyelami dan memahami.Dengan kita menulis, setidaknya kita belajar untuk mengerti seberapa dekat kita terhadap diri kita. Karena kita bisa menjadikannya cermin. Setiap dari kita memerlukan cermin, untuk melihat seperti apa seluruh bagian tubuh kita. Bagaimana kita bisa melihat bentuk dua telinga kita jika tak ada cermin?

Saya teringat sebuah kalimat entah dari kitab suci atau sekedar peribahasa yang bunyinya kita-kira, "Ikatlah ilmu dengan tulisan, karena ilmu itu ibarat binatang liar dan tulisan adalah jaringnya."
Menulislah kawan...