Senin, 22 September 2014

Cinta Bekal Pulang

Ketika seseorang ditanya dengan pertanyaan mendasar tentang segala yang dilakukannya dia lakukan untuk siapa, maka kamu siapa?
Siapapun itu adalah pastikan karena dan untuk cinta. Cinta itu membebaskan, tapi justru itulah maka ia memenjarakanmu. Cinta itu membahagiakan, tapi justru itulah ia membuatmu perih.
Dan setiap yang bukan karena dan untuk cinta, ia tak akan kekal. Ia akan musnah ditelan waktu. Sedang waktu berada di dalam cinta.
Setiap yang bukan karena dan untuk cinta tak akan pernah damai, sejuk, dan tentram. Karena diantaranya terdapat dinding yang kokoh. Dinding yang menghalangimu dari cahaya yang menerangimu.
Tanpa cahaya, engkau buta. Kau tak akan mengerti arah dan tujuanmu. Meski melangkah, kemungkinan untuk sampai pada tujuan sangatlah kecil. Dan lalu tersesat.
Tujuan setiap manusia adalah rumah. Kembali ke tempat darimana ia berasal. Karena rumah adalah tempatnya nyaman, tentram, dan damai.
Dan manusia yg tertutup dinding sehingga tak mendapat penerangan cahaya lalu tersesat adalah mereka yang tak mengerti tujuan. Karena mereka lupa darimana berasal. Mereka telah terlalu lama berada di dalam gelap. Matanya buta. Segala sesuatu di sekitarnya diraba. Tak mengerti yang diraba. Taunya emas berlian padahal batu kali. Taunya makanan padahal tai.
Robohkanlah dinding itu dengan cinta. Karena cinta meliputi segalanya. Gunakan kekuatan cintamu, lakukan karena dan untuk cinta itu sendiri. Kau tak akan pernah lagi untuk takut pulang.

Raga yang tak kekal dan jiwa yang kekal

Dunia begitu ramai, kawan. Bagaimana aku bisa menyusuri sepi-sepiku? Bagaimana aku bisa menjumpai kesendirianku?
Ocehan orang disana-sini. Gunjingan tak ada habisnya. Seperti kicauan burung yang tak pernah berhenti.
Diam menjadi begitu istimewa. Apakah dahulu kehidupan manusia seperti ini? Tak takpernah serentak untuk merenung.
Menemukan diri sendiri adalah yang paling berarti.
Masih ingatkah engkau ketika masih berbentuk gumpalan daging? Lalu Dia menjadikanmu janin bayi yang begitu murni di dalam perut sang ibu?
Awalnya hanya sebuah gumpalan daging, lalu diberikanNya detak. Pada dasarnya kau adalah jiwa yang kemudian diberi wadah berupa raga manusia. Dengan wajah, badan, tangan, dan kaki. Yang begitu sempurna.
Namun, betapa raga teramat rentan. Lihatlah wajahmu yang dulu lucu, kemudian menjadi elok, lalu kelak akan dipenuhi keriput. Lihatlah badan, tangan, kaki, dan seluruh anggota raga mu yang akan semakin kehilangan kekuatannya seiring usiamu menua. Sedang hatimu kekal.

Puasa

Ada satu hal yang bisa dipetik dari berpuasa. Yaitu puasa tidak bermanfaat apa-apa jika ketika berbuka kita memaksimalkan jatah makan kita. Karena seharusnya jatah itu adalah untuk yang lain. Mereka yang tak bisa makan teratur. Atau mereka yang mau tak mau hidup dalam kondisi lapar.

Tuhan Dahulu dan Modern

Konon katanya, Tuhan yang memenuhi segala kebutuhan manusia. Namun, Dia tak tampak. Lalu manusia-manusia berkelakar di setiap sudut gedung-gedung bertingkat. Menertawakan yang dianggapnya ocehan tak masuk akal orang-orang terdahulu. Mereka lebih memercayai nominal pada benda yang yang disebut sebagai dewa di zaman modern.
"Jangan percaya mitos. Jangan percaya takhayul", katanya.
Namun di setiap gedung bertingkat mereka sediakan tempat sembahyang. Mereka sembahyang. Rajin beramal. Katanya agar masuk surga kelak.
Dianggapnya kenyamanan di dunia adalah balasan atas ibadah mereka.
"Lho, sebenernya siapa yang suka bertakhayul?"
Bagi orang-orang yang melihat kenyataan dengan benar, surga sendiri sudah merupakan takhayul. Mereka menertawakan petuah orang-orang terdahulu, namun mereka sendiri tak menyadari siapa yang lebih pantas ditertawakan.
Sudah, kita bukan untuk saling menertawakan. Sudah jelas agamamu agamamu, agamaku agamaku. Mau dewa dahulu atau dewa zaman sekarang bebas saja. Urusane dewe-dewe.
Mereka sebut Tuhan Maha Penyayang biasanya hanya ketika merasa banyak uang. Uang sebagai wali/wakil dari Tuhan. Logikanya begitu. Makanya, banyak orang yang takut berkurang hartanya karena takut kasih sayang Tuhan juga berkurang.
"Tapi kebanyakan yang punya banyak harta kok malah orang-orang kafir", sela saya. Lalu orang yang bertuhan modern itu menjawab, "Mereka memang sengaja diberi tuhan kesenangan di dunia, tapi nanti di akhirat mereka akan disiksa habis-habisan".
Lalu, saya jadi bingung....

Air susu, Air Tuba, & Air Laut

Air susu adalah lambang kebaikan.
Air tuba adalah lambang keburukan.
Air laut adalah lambang keduanya.
Jika kau menjadi  air susu kau hanya dapat memberikan kebaikan. Jika kau menjadi air tuba kau hanya dapat memberikan keburukan.
Namun jika kau menjadi air laut, kau dapat menjadi keduanya dimana di dalamnya menjadi tempat bagi berlangsungnya kehidupan banyak makhluk.

Berhasil Pulang

Ketika yang kalah mengaku menang, yang emosional mengaku siap kalah siap menang, yang rakus mengaku agamis, yang bodoh mengaku bijak, dan yang manupulatif mengaku apa adanya. Maka tidak apa-apa karena siapa saja boleh mengaku apa saja. Baik mampu mempertanggungjawabkannya di hadapan manusia ataupun tidak. Karena manusia selalu memiliki kecenderungan untuk menyangkal. Karena kelak tanggung jawab telah menjadi kewajiban di hadapan Tuhan.
Ada yang berjanji bahkan bersumpah, entah demi apa, atau mungkin hanya bertaruh semata. Namun karena keyakinan yang sudah terlanjur buta, menjadi kebablasan pula. Keyakinan yang sebenarnya hanya terkaan belaka.
Kita semua tau, dunia sudah menjadi ladang penghancuran. Menjadi tempat persinggahan yang membuat banyak orang terbuai dan tak ingin pulang. Atau memang semuanya tak harus pulang. Karena ada yang mengira rumah tak seindah jalanan.
Padahal kerinduan kepada rumah adalah hakiki. Cepat atau lambat akan terasa juga. Menghujam setiap insan yang sedang mengarungi perjalanan hidup. Entah dalam perjalanan itu diliputi banyak suka ataupun duka.
Maka kuingat petuah seorang guru kepadaku, kalah-menang dalam perjalanan tidaklah penting, katanya. Karena pemenang yang sesungguhnya ialah dia yang berhasil sampai ke rumah.

Akibat memaksakan kehendak

Ini cerita tentang saya yang seringkali memaksakan kehendak. Tentu saja kecewa, jengkel, dan melemparkan kesalahan kepada orang lain sering saya alami dan lakukan. Ketika ego saya manjakan, mestinya saya sadar bahwa saya sedang mencoba membuat diri saya sendiri menjadi bodoh. Terlebih menjadi dungu secara intelektual, emosional, dan spiritual. Karena tiba-tiba saya menjadi bukan diri saya. Akal sehat tidak jalan, penglihatan kabur, dan yang terparah adalah melupakan tujuan hidup.