Kamis, 24 Oktober 2013

Luka,Amarah,dan Ketakberdayaan

Seorang yang terbiasa ditindas dapat menjadi penjahat paling berbahaya. Maka perlu hati-hati ketika menjalin hubungan sesama manusia. Seseorang yang diam tak melawan bukan berarti ia sudah kalah. Barangkali ia menyimpan dendam. Mengumpulkannya sedikit demi sedikit. Kelak jika dendam itu terkumpul, ia akan menjadi kekuatan yang besar dan tak terkendali. Seperti kekuatan dajjal yang terpenjara ribuan tahun.

Semakin tahun, rantai besi di tangan sang tertindas akan semakin rapuh. Berbanding terbalik dengan dendam yang disimpannya. Kekuatannya justru menggumpal. Dan kelak akan menjadi senjata penghancur paling hebat.
Ia berharap, kelak ia dapat melakukan penindasan yang serupa terhadap orang lain. Agar ada yang mengerti betapa perih yang ia alami. Begitulah cara berpikir dajjal. Baginya darah harus dibayar darah, malu harus dibayar malu, rasa sakit harus dibayar rasa sakit. Adil. Seperti Tuhan yang Maha Adil.

Berbeda dengan seorang penindas, yaitu seorang yang berpikir yang kuat yang patut melakukan apa saja. Bahkan untuk menindas yang lain. Menyakiti sesama manusia. Sesama ciptaan Tuhan. Ia sangat percaya bahwa Tuhan selalu memiliki alasan mengunggulkan suatu kaum dari kaum yang lain. Seperti yang ia baca pada kitab suci. Maka ia hanya mengikuti apa yang telah menjadi petunjuk. Sambil mengharap, kelak setelah ia mati Tuhan akan memasukannya kedalam surga yang isinya para bidadari. Wanita-wanita bertubuh mulus yang siap untuk disetubuhinya kapanpun. Lalu nanti ia akan bertemu dengan teman-temannya, para penindas pula, yang akan meramaikan surga dengan pesta seks. Betapa bahagianya. Betapa baiknya Tuhan, katanya.

Disisi lain, seorang gelandangan kumuh kebingungan melihat para penindas dan tertindas berkumpul di di neraka. Mereka sama sekali tak bermusuhan. Bahkan sangat akrab. Gelandangan itu berpikir ada apa gerangan mereka malah saling bercengkrama di dalam neraka. Mengapa sang penindas tak berada di surga sesuai dengan apa yang telah diyakininya saat berada di bumi? Lalu mengapa sang tertindas juga mendekam di neraka?

Bukannya Tuhan pernah berjanji bahwa siapa yang menaatinya akan dimasukanNya ke dalam surga? Bukannya Tuhan juga pernah berfirman bahwa Dia bersama orang-orang yang tertindas?

Lalu gelandangan kumuh itu menangis tersedu-sedu. Ia bukan menangisi para penindas dan tertindas. Tapi ia menangisi dirinya sendiri. Meskipun hidupnya selama di bumi ia habiskan untuk menolong sesama dan menitikkan air mata hingga darah demi orang lain, namun kali ini ia ingin menolong dirinya sendiri. Ia melihat tidak ada siapa-siapa disana kecuali dirinya sendiri. Ia sadar, betapa sombongnya ia telah merasa mengenal Tuhannya. Betapa ia telah berprasangka buruk kepada Tuhan atas segala firman-firmanNya. Betapa sangat tiada berdaya nya akal untuk menjangkau pemahaman tentang Tuhan.

Gelandangan itu melepas pakaiannya. Ia bertelanjang bulat sambil bersimpuh. Lalu bersujud dan menangis. Mengakui segala kesalahannya kepada Tuhan. Tiba-tiba, sesosok makhluk berwujud rupawan dan bersayap muncul di depannya. Makhluk itu menyerahkan dua kunci kepada gelandangan itu. Pada kunci itu masing-masing bertuliskan surga dan neraka. Kemudian makhluk bersayap itu seolah memberikan isyarat kepadanya untuk membuka salah satu pintu dengan kunci tersebut.

Gelandangan itu malah menyerahkan kembali kunci tersebut. Lalu secercah cahaya tiba-tiba memancar dari kedua sosok berbeda itu.
Dan keduanya hilang. Entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar